Bismillahirrohmannirrohiim,
Tentunya teman-teman semua tau, jika sedang ada perseteruan antara seorang pengacara dan seorang artis. Di mana sang pengacara mengoceh di twitter, yang kemudian ditanggapi oleh anak laki-laki dari artis itu yang tidak terima ayahnya dilecehken. Timbul rasa ingin membela nama baik sang ayah, kedua anak laki-laki artis menantang duel di atas ring tinju. Masalah ini kemudian menjadi panjang karena si pengacara makin mengoceh tidak saja di twitter tapi juga di mass media. Makin menggelikan omongannya. Lebih lucu dari pada acara OVJ. Hihihi... kok malah jadi ngomongin infotainment sih. Bisa-bisa di protes nih kalau blog ini cerita gosip ^_^.
Ah si bunda, ngakunya jarang nonton TV tapi berita gosip kok paham gitu. Hehehe... Saking ramenya yang membicarakan, akhirnya kan jadi tau juga. Tapi... karena kasus itulah aku jadi ingin menulis tentang bagaimana seorang anak yang ingin membela kehormatan keluarga. Bukan karena dipengaruhi atau diminta oleh orang tuanya, tapi memang tumbuh dalam diri si anak. Peran orang tua perlu mengarahkan, agar pembelaan ini tidak menjadi perbuatan anarkis dan salah.
Di keluargaku, adalah Luthfan, si sulung yang selalu tampil di depan jika ada yang dia rasa tidak menghormati ayah bunda dan adik-adiknya. Kadang yang dilakukannya bisa dengan cara kasar, tapi kadang juga bisa dengan cara santun dan mengharukan. Jiwa mudanya memang harus selalu dibimbing agar tidak meluap.
Waktu aku masih mengelola kantin, Luthfan sedang bantu-bantu di kantin (waktu itu dia masih SMP, sekarang sudah SMA kelas XII). Tiba-tiba dia melihat ada karyawan kantin yang besikap dan berkata tidak sopan padaku. Luthfan langsung menghentikan pekerjaannnya, dan mendekati karyawanku dengan wajah yang tidak ramah, sambil berkata,"Bunda... Boleh nggak aku tonjok orang ini! Sembarangan nggak sopan gitu sama bunda."
Waahh.. tentu saja aku kaget dengan reaksi Luthfan. Aku malah jadi sibuk menenangkan emosi anakku itu. Terakhir dia mengancam," Lu begitu lagi sama bunda, lu ngadepin gua!" Tanpa ada rasa takut menghadapi karyawanku yang sudah pasti usianya jauh di atas Luthfan.
Akhirnya aku menyuruh Luthfan pulang supaya suasana kerja jadi tidak makin kacau. Dia sempat berbisik sebelum pulang,"Aku menghormati bunda, makanya aku nggak pukul dia. Tapi kalau dia ulangi lagi, jangan larang aku."
Aku usap kepalanya sambil mengucapkan terima kasih. Tak ada gunanya memberikan nasehat pada saat dia emosi begitu. Setelah di rumah barulah aku dekati Luthfan dan menasehati untuk tidak membiasakan diri menyelesaikan sesuatu dengan emosi apalagi adu fisik. Nasehat ini memang harus selalu diulang dan diulang terus sepanjang gejolak remajanya belum stabil. Tapi memang tetap harus memperhatikan waktu. Tidak pada saat dia sedang panas, supaya dia tidak merasa disalah-salahkan atas niat baiknya.
Siakpnya akan sama kalau ada temannya atau teman adiknya yang memakai nama ayah bundanya sebagai olok-olok/senda gurau.
"Lu ngeremehin ayah bunda gua, berarti lu ngeremehin gua. Gua nggak suka nama orang tua gua buat candaan gitu." Itu yang pernah aku dengar sendiri waktu temannya main ke rumah dan bercanda.
Atau bisa juga sikapnya mengharukan seperti yang pernah aku tulis dalam Kisah Sebuah Dompet. Membantu Hilman menyelesaikan masalah dengan temannya dengan cara baik sekali.
Begitulah... Menurutku wajar kalau seorang anak ingin membela orang tua yang dihormatinya. Seperti juga anak-anak artis itu. Yang perlu diarahkan adalah caranya. Jangan sampai, niatnya membela kebenaran tapi caranya salah, nantinya malah jadi berubah posisi menjadi pihak yang bersalah. Ini namanya konyol. Tak perlu adu fisik segala. Apalagi sampai ada yang terluka.
Sampai saat ini memang belum pernah terjadi Luthfan berantem dengan alasan apapun. Alhamdulillah. Tapi aku akui, anakku itu memang harus selalu diusap, dibelai, dipeluk, didengarkan, dinasehati, agar tidak lepas kontrol. Dan yang paling penting, tetap mendekatkan dia pada agama, terutama dalam menasehati. Bahwa kekuatan fisik bukanlah menandakan bahwa orang itu kuat di mata Alloh, tapi lebih kepada perlunya menahan hawa nafsu dari amarah itu sendiri.
Sudah banyak contoh, jatuh kehormatan seseorang justru karena tidak bisa menahan marahnya. Mengendalikan hawa nafsu pada saat marah memang tidak mudah, tapi perlu dibiasakan. Itu makanya kemampuan menahan marah dikatakan sebagai sebuah kekuatan. Diperlukan kesabaran dan pikiran positif, yang memang lebih membutuhkan pasukan tangguh.
Untuk bisa mendidik anak-anak bisa menahan marahnya, tentunya kita selaku orang tua yang harus terlebih dahulu memiliki sikap itu. Sebuah teladan memang selalu diperlukan. Insya Alloh.
Read more
Tentunya teman-teman semua tau, jika sedang ada perseteruan antara seorang pengacara dan seorang artis. Di mana sang pengacara mengoceh di twitter, yang kemudian ditanggapi oleh anak laki-laki dari artis itu yang tidak terima ayahnya dilecehken. Timbul rasa ingin membela nama baik sang ayah, kedua anak laki-laki artis menantang duel di atas ring tinju. Masalah ini kemudian menjadi panjang karena si pengacara makin mengoceh tidak saja di twitter tapi juga di mass media. Makin menggelikan omongannya. Lebih lucu dari pada acara OVJ. Hihihi... kok malah jadi ngomongin infotainment sih. Bisa-bisa di protes nih kalau blog ini cerita gosip ^_^.
Ah si bunda, ngakunya jarang nonton TV tapi berita gosip kok paham gitu. Hehehe... Saking ramenya yang membicarakan, akhirnya kan jadi tau juga. Tapi... karena kasus itulah aku jadi ingin menulis tentang bagaimana seorang anak yang ingin membela kehormatan keluarga. Bukan karena dipengaruhi atau diminta oleh orang tuanya, tapi memang tumbuh dalam diri si anak. Peran orang tua perlu mengarahkan, agar pembelaan ini tidak menjadi perbuatan anarkis dan salah.
Di keluargaku, adalah Luthfan, si sulung yang selalu tampil di depan jika ada yang dia rasa tidak menghormati ayah bunda dan adik-adiknya. Kadang yang dilakukannya bisa dengan cara kasar, tapi kadang juga bisa dengan cara santun dan mengharukan. Jiwa mudanya memang harus selalu dibimbing agar tidak meluap.
Waktu aku masih mengelola kantin, Luthfan sedang bantu-bantu di kantin (waktu itu dia masih SMP, sekarang sudah SMA kelas XII). Tiba-tiba dia melihat ada karyawan kantin yang besikap dan berkata tidak sopan padaku. Luthfan langsung menghentikan pekerjaannnya, dan mendekati karyawanku dengan wajah yang tidak ramah, sambil berkata,"Bunda... Boleh nggak aku tonjok orang ini! Sembarangan nggak sopan gitu sama bunda."
Waahh.. tentu saja aku kaget dengan reaksi Luthfan. Aku malah jadi sibuk menenangkan emosi anakku itu. Terakhir dia mengancam," Lu begitu lagi sama bunda, lu ngadepin gua!" Tanpa ada rasa takut menghadapi karyawanku yang sudah pasti usianya jauh di atas Luthfan.
Akhirnya aku menyuruh Luthfan pulang supaya suasana kerja jadi tidak makin kacau. Dia sempat berbisik sebelum pulang,"Aku menghormati bunda, makanya aku nggak pukul dia. Tapi kalau dia ulangi lagi, jangan larang aku."
Aku usap kepalanya sambil mengucapkan terima kasih. Tak ada gunanya memberikan nasehat pada saat dia emosi begitu. Setelah di rumah barulah aku dekati Luthfan dan menasehati untuk tidak membiasakan diri menyelesaikan sesuatu dengan emosi apalagi adu fisik. Nasehat ini memang harus selalu diulang dan diulang terus sepanjang gejolak remajanya belum stabil. Tapi memang tetap harus memperhatikan waktu. Tidak pada saat dia sedang panas, supaya dia tidak merasa disalah-salahkan atas niat baiknya.
Siakpnya akan sama kalau ada temannya atau teman adiknya yang memakai nama ayah bundanya sebagai olok-olok/senda gurau.
"Lu ngeremehin ayah bunda gua, berarti lu ngeremehin gua. Gua nggak suka nama orang tua gua buat candaan gitu." Itu yang pernah aku dengar sendiri waktu temannya main ke rumah dan bercanda.
Atau bisa juga sikapnya mengharukan seperti yang pernah aku tulis dalam Kisah Sebuah Dompet. Membantu Hilman menyelesaikan masalah dengan temannya dengan cara baik sekali.
Begitulah... Menurutku wajar kalau seorang anak ingin membela orang tua yang dihormatinya. Seperti juga anak-anak artis itu. Yang perlu diarahkan adalah caranya. Jangan sampai, niatnya membela kebenaran tapi caranya salah, nantinya malah jadi berubah posisi menjadi pihak yang bersalah. Ini namanya konyol. Tak perlu adu fisik segala. Apalagi sampai ada yang terluka.
Sampai saat ini memang belum pernah terjadi Luthfan berantem dengan alasan apapun. Alhamdulillah. Tapi aku akui, anakku itu memang harus selalu diusap, dibelai, dipeluk, didengarkan, dinasehati, agar tidak lepas kontrol. Dan yang paling penting, tetap mendekatkan dia pada agama, terutama dalam menasehati. Bahwa kekuatan fisik bukanlah menandakan bahwa orang itu kuat di mata Alloh, tapi lebih kepada perlunya menahan hawa nafsu dari amarah itu sendiri.
Sudah banyak contoh, jatuh kehormatan seseorang justru karena tidak bisa menahan marahnya. Mengendalikan hawa nafsu pada saat marah memang tidak mudah, tapi perlu dibiasakan. Itu makanya kemampuan menahan marah dikatakan sebagai sebuah kekuatan. Diperlukan kesabaran dan pikiran positif, yang memang lebih membutuhkan pasukan tangguh.
Untuk bisa mendidik anak-anak bisa menahan marahnya, tentunya kita selaku orang tua yang harus terlebih dahulu memiliki sikap itu. Sebuah teladan memang selalu diperlukan. Insya Alloh.