Kamis, 22 November 2012

Jangan Marahi Kami Terlalu Keras


image google

Bismillahirrahmannirrahiim...

Membiasakan selalu berdiskusi dengan anak-anak ternyata memang membuat hubungan positif antara orangtua dan anak-anak. Aku merasakan sekali hal itu. Anak-anak jadi lebih menghargai kami, orangtuanya. Komunikasi yang kami bangun tidak sekedar anak harus mendengar apa kata orang tuanya. Tapi  juga sebaliknya, kami yang mendengarkan mereka bicara. Aku dan ayahnya anak-anak jadi bisa merasa "dicubit" manakala anak-anak menyampaikan protesnya kepada kami. Meminta maaf kepada anak-anak atas kesalahan yang kami buat, memberikan contoh buat mereka untuk melakukan hal yang sama.

Aku ingin berbagi cerita "temuan"ku dari sebuah diskusi dengan anak-anak beberapa hari lalu. Cukup membuatku tertegun dan tersadar akan sesuatu. Suara anak-anak yang memohon sesuatu kepada aku dan ayahnya.

Malam itu dikarenakan sebuah perselisihan antara Luthfan dan Hilman (si sulung dan no 3), membuatku mengajak semua anggota keluarga berkumpul di kamar anak-anak. Seperti biasa, aku selalu memberikan waktu untuk masing-masing anak mengungkapkan isi hati mereka. Sengaja dimulai dari yang kecil Fanni supaya Fanni punya bahasa sendiri, tidak meniru kakak-kakaknya. Belajar menerjemahkan perasaannya.

Setelah masing-masing anak mengungkapkan perasaannya, aku megevaluasinya. Yang ini salah, yang ini benar. Sebaiknya begini sebaiknya begitu. Sambil tetap selalu menghubungkan semua nasehat kepada Allah, harapannya agar anak-anak selalu tersambung dengan Allah.

Tidak semua nasehatku dan ayahnya diterima, adakalanya mereka protes... "Tidak bisa begitu...".  Kami tetap menghargainya. Tinggal mengarahkan apa maksud mereka dalam tindakan kongkrit saja. Dan saat tiba si sulung menyapaikan uneg-unegnya kepada kami, mataku terasa panas. Si sulung menyampaikannya dengan air mata berlinang. Jagoanku yang tangguh itu menangis saat mengatakannya.

"Ayah, bunda... jangan marahi kami terlalu keras. Kami memang sering berbuat salah, tapi sebetulnya kami menyesal dan bingung mau bersikap bagaimana. Kalau ayah bunda marah dengan keras, yang ada kami malah ngga mau terima disalahkan. Itu makanya aku sering melawan kalau dimarahi. Aku mau ayah sama bunda kasih nasehat aja yang pelan. Rasanya hatiku lebih tenang dan bisa menerimanya."

Terkesiap hatiku mendengarnya. Aku pribadi kadang lepas kontrol memarahi mereka cukup keras. Rupanya itu membuat anak-anak sakit hati. Pesan tidak sampai. Perubahan yang diharapkan malah makin jauh. Istighfar dan tarik nafas panjang....

Sulungkupun lanjut dengan kata-katanya, dengan masih terbata-bata, "Aku bukan mau menyalahkan ayah bunda, tapi rasanya sikap kerasku sama adik-adikku adalah karena aku hanya bisa melampiaskan sakit hatiku pada mereka.  Jadi aku mohon... nasehati saja aku dengan pelan. Aku mau kok mendengarnya."

Astaghfirullah... ternyata kamilah sumbernya. Mereka hanya meniru apa yang mereka dapat dari kami orangtuanya.  Lalu apakah kami layak hanya menimpakan kesalahan kepada anak-anak manakala mereka bertengkar?  Tidak adil sekali.

Aku dan ayahnya anak-anak secara bergantian meminta maaf kepada mereka. Berjanji akan lebih menjaga marah kami agar tidak menjadi lepas kendali. Berjanji akan memperbaiki sikap kami kepada mereka semua. Berterima kasih atas teguran itu. Berterima kasih karena mereka sudah mau diajak berdiskusi. Karena aku yakin, tidak semua anak mau diajak diskusi seperti itu.

Dan sekali lagi, diluar dugaanku sulungku berkata, "Trimakasih juga karena ayah sama bunda mau diskusi dan mendengarkan kami. Tidak semua orang tua mau melakukannya. Menerima kritikan dari anak-anaknya dengan terbuka. Aku nggak pernah dengar teman-temanku diajak diskusi gini sama orang tuanya."

Secara teori kita memang tahu apa yang sebaiknya kita lakukan dan tidak lakukan kepada anak-anak. Tapi pada prakteknya, kita sering lepas kendali dan melanggar sendiri aturan yang kita buat. Manakala berhadapan dengan masalah yang berhubungan dengan emosi, kita jadi seperti membenarkan semua tindakan kita kepada anak-anak. Padahal ternyata itu melukai hati mereka. Jangan sampai luka ini menjadi semakin lebar, akan sulit disembuhkan. Jadi sebaiknya selaku orang tua kita tetap berintrospeksi diri, tidak melulu menyalahkan anak-anak atau bahkan lingkungan. Karena ternyata sering penyebabnya adalah kita sendiri, orang tuanya.

Obrolan malam itu berakhir dengan saling berpelukan dan ciuman sayang. Aahh... bahagia menelusup dalam hatiku. Sungguh nikmat Allah ini tak bisa aku dustakan. Alhamdulillah dikaruniai anak-anak yang baik-baik. Puji syukur ya Rabb.



32 komentar:

  1. terima kasih bun sudah diingatkan. kuncinya komunikasi ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Lidya... komunikasi itu ada yang bicara dan mendengar. Dan lakukan 2 arah.

      Hapus
  2. Sebaiknya kalau kita marah jangan meledak-ledak karea bisa membuat anak2 takut, bukan segan.
    Terima kasih pencerahannya.
    Saya janji gak akan memarahi keponakan2 sak udel saya.
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya pakde...
      kita memang harus terus belajar mengendalikan emosi kita.
      Terima kasih kembali...

      salam dr jakarta

      Hapus
    2. Saya kadang suka nda terkontrol jika marah apalagi kalaw anak anak yang sengaja meledek orang tuanya. Namun dalam beberapa hal saya masih harus belajar dari sang istri dalam mendidik sang anak. Saya keras orangnya, sedangkan bundanya tidak. Salam dari Pontianak

      Hapus
    3. Asal tetap ada keinginan untuk memperbaiki diri, pasti akan mjd lebih baik pak Asep.
      Saya dan suami juga masih harus banyak memperbaiki diri kok. Masih banyak kekurangan kami dalam hal mendidik anak.
      Salam kembali dari Jakarta.

      Hapus
  3. duh so suit bgd keluarga ini....
    betul kata sulung..keluarga lain blm tentu anak diajak diskusi spt ini.
    mks utk pembelajarannya ya nak :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah kalau yang begini dibilang so suit... :D

      Ga ada ruginya lho berdiskusi sama anak2.. malah manfaatnya banyakk
      It's work... Trust me... hehehe...

      Hapus
  4. Jaman sudah berbeda. Kini, kebanyakan orang tua kesulitan menempatkan diri dalam membimbing anak. Terlalu keras nggak benar, terlalu lembek juga salah. Pola interaksi yang dibangun Mbak Niken sekeluarga sebagai gambaran interaksi yang demokratis karena saling mendengarkan dan saling memberikan solusi, namun tetap pembuat kesimpulan akhir adalah orang tua. Ini yang patut kita contoh. Karena kebanyakan anak sekarang lebih suka mendengarkan 'ocehan' orang lain daripada orang tuanya sendiri. Maka Pola merangkul dan melepaskan adalah cara yang baik untuk menyelami hati anak masa kini. TFS

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya selalu berprinsip "anak harus percaya pada orang tuanya". Dan itu berlaku dalam hal apapun. Untuk bisa mendapat kepercayaan dari anak tentunya kita juga harus menghargai dan percaya kepada mereka.
      Bukankah hidup ini intinya adalah timbal balik...? Keseimbangan. itu saja.

      Hapus
  5. Pelajaran penting nih buat saya, Mbak. Saya orangnya gampang beringas, anak susah gosok gigi aja rasanya dduuuhh..pengen nabokin tembok deh! Tapi, berkata kasar blom pernah sih. Wong anaknya masih usia 4 thn :D

    Salam kenal Mbak Niken (dulu ada teman kantor yang saya panggil Mbak Niken juaga..hehe) Ini komen pertama saya dimari, biasanya silent reader aja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiap tahapan usia selalu punya "kesulitan" sendiri2. Kebetulan anak saya banyak jadi harus bisa membeda2kan sikap terhadap mereka.

      Salam kenal kembali mbak Dewi Fatma... kita sama-sama belajar mengendalikan emosi yuk...

      Hapus
  6. Bener-bener media edukasi yang baik dan sehat
    tidak banyak komen deh, satu kata untuk tulisannya.... "speechless"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener nih sekarang 1 katanya. hehehe...
      Mas Insan jangan panjang2 komen, ntar tulisan saya kalah pamor... hehehe...

      Hapus
  7. Trimakasih sudah berbagi point penting itu : komunikasi dua arah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak.. komunikasi 2 arah. Biasakan deh hal ini. Pasti terasa indahnya mendengarkan anak2 bicara.

      Hapus
  8. makasih mbak sudah diingatkan. Enaknya kalo punya anak yg terbuka seperti anak2 mbak Niken. Anak2 ku cenderung tertutup sampai aku terkadang bingung ngorek2 cerita dari mereka. Smoga saja aku bisa belajar menjadi orang tua yang bijaksana seperti mbak Niken ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anak saya beda2 sifatnya lho mbak...
      Yg no 2 juga tertutup. tapi pada saat diskusi seperti itu, dia tetap harus bicara seperti yang lain.
      Terhadap anak seperti itu, kita harus pancing spy dia nyaman bicara.

      Hapus
  9. Keke aja yg masi kelas 3 SD pernah komplen spt itu mbak.. Ya jdnya saya & anak2 saling mengingatkan saja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Syukurlah kalau sejak kecil sudah ada keterbukaan antara ortu dan anak... lebih nyaman rasanya yaa..

      Hapus
  10. Ahhhhh aku suka baca pengalaman ini bun. :)
    Kalau ngomong emang jadi enak ya jatuhnya..
    Salam buat jagoan2nya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aahhh... aku juga suka baca komennya mas Adi.. hehehe...
      Salam kembali dari jagoanku..

      Hapus
  11. Subhanallah...
    Memang benar, jarang banget terdengar orang tua yang mengadakan diskusi dengan anak2nya. Seolah2 hanya dengan memberi uang jajan atau memarahi, merasa sudah bisa menjadi orang tua yang baik...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal manakaka ini dibiasakan, bisa menjadi moment yang indah lho mbak Kaka. Bahkan sampai saat inipun, saya dan suami merasa harus tetap banyak belajar dari anak2.

      Hapus
  12. orang tua aku ajj memarahi ku terlalu keras sekali :(
    padahal aku udh SMA , udh mencoba mlakukan yg terbaik buat mereka.
    tp tetep ajj gk d pandang :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Niki... sabar yaaa...
      Semua orang tua pada dasarnya sayang sama anak. Hanya caranya yg berbeda2. Didoakan saja agar orang tuanya mendapat petunjuk dan hidayah dr Allah.

      Hapus
  13. Salut dan suka deh baca cara bunda Niken ngedidik anaknya :).
    dan kata2 Lutfhan bikin nyeeess di hati ya bun
    "Trimakasih juga karena ayah sama bunda mau diskusi dan mendengarkan kami. Tidak semua orang tua mau melakukannya. Menerima kritikan dari anak-anaknya dengan terbuka. Aku nggak pernah dengar teman-temanku diajak diskusi gini sama orang tuanya"
    ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, anak-anak juga masih mau diajak bicara.

      Hapus
  14. Alhamdulillah ternyta msih ada ortu yg mau mndgr kta2 anak,krena aq tau ortu hnya ingin coplos2 tnp mndgr kta anak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anak dan orang tua hrs sama-sama belajar saling memahami. Itu saja kuncinya.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Pena Bunda © 2008. Design By: SkinCorner